Social Icons

Pages

Featured Posts

Thursday, July 30, 2015

Promote

Bismillah
Untuk beberapa waktu sepertinya saya tidak akan aktif di blog ini (padahal baru dikit postingannya). Ya, blog saya pindahkan ke miahanty.tumblr.com, sila difollow bagi yang berkenan. Oh iya, saya juga biasanya aktif di instagram karena saya suka memotret dan dipotret 😂. Id instagram saya: @miahanty. Terima kasih 😊

Wednesday, July 8, 2015

Sajak #2, yang bertahan

Ia yang bertahan,
Siapa yang harus pergi ketika memang itu perlu
Siapa yang kembali ketika memang itu harus
Cukup cinta menjaga langkah
Sebab pergi adalah rindu yang harus dirawat
Sebab kembali adalah cinta yang harus dijaga
Aku hanya menoleh sesaat dan wajahmu tak lagi kulihat
Aku hanya menangis sebentar dan suaramu tak lagi terdengar
Aku bertanya pada angin menghembus, pada sang langit terhampar 
Kemana rindu kan berakar? 
Saat sang senja merona sendu
Kau kata "tinggalkan aku"
Kemudian kau terheran dengan air mata pada jiwa yang terluka
Dimana cinta bertahan? 
Saat gerimis turun tak berkesudahan
Aku bilang, "aku menunggumu"


Mia, 23 Tahun
Dalam mendung Kota Medan

Tuesday, June 23, 2015

Catatan 9 : Mencintai Penanda Dosa (dinukil dari kisah yg dituturkan oleh Ust. Salim A. Fillah)

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah tersenyum ketika saya mempostingkan catatan ini.

Olaa minna san,
Karena laptop sedang dibawa adik, jadi beberapa waktu ini saya akan ngeblog lewat hp :). Harap maklum ya, kalau postingannya ngga ada gambarnya dan singkat-singkat.

Kali ini saya akan merepost sebuah kisah nyata yang dituturkan Ustadz Salim A. Fillah dalam buku beliau, menyimak kicau merajut makna.

Mari jadikan kisah berikut ini sebagai pelajaran, untuk tidak bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apapun kondisinya. Bagaimanapun caranya. Terlebih lagi dengan bumbu “ta’aruf syar’i”, “khitbah”, namun tanpa diiringi dengan ilmu yang benar dalam penerapannya? Syaithan begitu bersemangatnya dalam menggelincirkan manusia. Apabila yang berlabel “aktivis dakwah” saja tergelincir dalam tipu muslihatnya, bagaimanatah lagi dengan kami yang sekadar berlabel ‘orang awam”?

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”


Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“Subhanallah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Kisah ini pertama kali saya baca bukan dari buku beliau tapi dari suatu page dakwah di facebook sekitar akhir tahun lalu. Jujur, bahkan setelah beberapa kali membaca mata saya tetap saja gerimis dan hati saya bergetar. Betapa amat sangat halus godaan setan itu. Mereka tak pernah kehabisan cara menggoda manusia, bahkan mereka para aktivis dakwah pun bisa terjerumus ke dalam dosa besar yang ahh.. saya tak tahu harus berkata apa, apatah lagi saya, kita, yang masih awam, yang masih begitu dangkal ilmu dan imannya.
Dan dari kisah ini pula saya belajar, betapa ia, sang perempuan, amat sangat tangguh. Saya malu, saya tak ada apa-apanya dibanding beliau, saya yang masih sering mengeluhkan masalah yang jauh lebih kecil dari apa yg menimpa beliau. Ahh, ternyata surga masih jauh.

Monday, June 22, 2015

Sajak #1 : untukmu, masa lalu

Untukmu,
Duhai masa lalu
Baik-baiklah di tempatmu yang baru
Karena di hati dan hidupku
Tak kutemukan lagi tentangmu

Duhai engkau
Sang masa lalu
Jangan pernah lagi ada
Untuk sekedar rindu bahkan sesal

Masa lalu,
Setelah kau pergi hari itu
Aku memutuskan membunuhmu
Membunuhmu dari hati, ingatan dan kenanganku

Hai masa lalu,
Biarlah kali ini kita kembali menjadi dua insan yang saling asing
Mohon hargai
Inilah caraku untuk berdamai dengan hatiku

Duhai kau,
Sang masa lalu
Aku memang tak bisa menghapusmu menyeluruh
Karena tak kupungkiri
Kau telah menjadi jejak hidupku

Hai kau masa lalu,
Untukmu kuucapkan terima kasih
Karenamu aku bisa menjadi pribadi yang baru
Kutemukan banyak cinta, harapan, dan segala yang lebih berwarna

Wahai masa laluku,
Engkau pun berhak berbahagia
Tapi maaf, di hidupku kau sudah lama mati 


5 Ramadhan,
di tengah terik kota kelahiran 
Mia, 23 tahun 

Friday, June 12, 2015

catatan 8 : Senja dan Rasa Syukur yang Sempat Terlupa

Bismilahirrahmanirrahiim

Semoga Allah senantiasa tersenyum ketika saya mengetikkan catatan ini :)

Sudah lama rasanya tak menuliskan sesuatu di blog sederhana ini, maafkan ya pemirsah. Banyak faktor yang membuat saya memutuskan berhenti sejenak berkabar di media sosial :)

Berawal dari rasa jenuh terhadap pekerjaan, bosan melihat pemandangan yang sama setiap harinya dari jendela angkot yang itu-itu saja, akhirnya dengan bermodal niat, tekad, dan nekat berangkatlah saya dan teman sekantor yang sama-sama berjiwa petualang :D ke Pulau di ujung Sumatera itu. Pulau Weh namanya.

Bukan bermaksud berbangga bahwa saya sudah sampai di sana kawan. Tidak. Di sini saya akan membagi rasa dan hal-hal luar biasa yang saya temukan di sana :)

Saat berada di Pulau paling Utara Sumatera itu, hal yang paling tak ternilai dan tak tergantikan yang saya dapatkan adalah ketika memandang langit senja di tepi laut. Langit yang perlahan berubah menjadi jingga, pepohonan yang hijau, warna air laut yang perlahan berubah gelap karena mulai menghilangnya cahaya sang surya, perahu-perahu yang mulai ditambatkan, dan sayup-sayup suara muadzin Aceh, Masyaa Allah... tak dapat saya bahasakan perasaan seperti apa yang muncul di hati saya kala itu. Saya cuma bisa tertegun saat itu, seolah waktu di sekitar saya berhenti. Saya begitu terpesona. Betapa amat syahdu suasana kala itu.

Dokumentasi Pribadi, Sabang 15-05-15
Tiba-tiba hati saya disergap perasaan biru yang amat syahdu, betapa selama ini amat tidak bersyukurnya saya. Betapa amat sering saya mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa saya miliki padahal Allah telah memberikan begitu banyak hal lain yang bisa saya nikmati. Salah satunya lukisan megah senja ini. Tanpa terasa air mata saya menetes.

Beberapa menit saya duduk di sana, saya merasakan hati saya terasa penuh. Penuh oleh rasa Cinta kepada Dia Sang Maha Indah. Hati yang beberapa lama ini kering, kering karena rasa jenuh, rasa jenuh yang muncul karena lupanya bersyukur.

Syukur...

Ternyata di sana jawaban atas rasa jenuh yang selama beberapa saat membelenggu diri, jenuh dengan pekerjaan yang gitu-gitu aja, padahal jika saya mau bersyukur kala itu, jika saya menyadari bahwa banyak orang di luar sana yang masih bersusah payah mencari pekerjaan yang layak untuk hidupnya, kata "jenuh" itu tidak akan pernah terucap dari lisan saya.

Memandang lembayung itu, begitu banyak rasa syukur yang muncul. Begitu banyak jawaban yang saya temukan. Begitu banyak hal-hal di sekitar yang saya lupakan. Dan di sana juga saya menyadari bahwa betapa tak ada apa-apanya diri ini. Betapa Maha Agungnya Allah.

Setelah sekian menit berdiam, merenung, teman saya menyadarkan saya, mengajak menuju masjid untuk menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kala itu teman saya berkata. Kata-kata yang saya ingat sampai sekarang.

"Orang yang dekat dengan alam biasanya ia juga akan dekat dengan Tuhannya"

Semoga kita diberi keistoqomahan untuk selalu menjadi hamba yang senantiasa mendekat kepadaNya. AAmiin ya Rabbal'alamiin.



Mia, 23 tahun



Thursday, April 16, 2015

Catatan 7 : Buku 99 Cahaya di Langit Eropa, Menjadi Agen Muslim yang Baik, dan Lisan yang Terjaga

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah senantiasa tersenyum ketika saya memposting tulisan saya ini :)

Sudah lama nih ngga nulis di blog, makanya jemari ini agak bergetar ketika kembali mengetikkan setiap huruf pada tulisan kali ini (lebayy :D).

Ya sudah, kali ini saya akan sedikit menuliskan tentang sebuah buku. Judul buku tersebut adalah "99 Cahaya di Langit Eropa" karya mbak Hanum Salsabiela Rais dan suami. Saya rasa hampir seluruh dari yang baca blog saya ini (kaya banyak yg baca aja) tahu atau setidaknya familiar dengan judul buku di tersebut. Ya, cerita dari buku tersebut sudah diangkat ke layar lebar dengan judul "Berjalan di atas Cahaya" (kalau ngga salah :D). Saya sendiri sampai sekarang belum nonton filmnya sih. Kalau ada yang belum pernah baca bukunya, saya sarankan cari di toko buku terdekat, beli, kemudian baca. Insyaa Allah anda tidak akan menyesal, kawan :).

Buku ini pertama kali saya baca sekitar dua atau tiga tahun lalu, saya pun lupa. Waktu itu seorang sahabat meminjamkan kepada saya dengan lebih dulu "ngoceh" tentang bagusnya buku tersebut. Awalnya saya kurang tertarik membacanya, karena waktu itu lagi sibuk-sibuknya jadi panitia suatu kegiatan yang cukup besar jadi mikir, "mana sempat baca buku". Tapi, setelah mendengar "spoiler" dari sahabat saya dan melihat ekspresi beliau yang semangat sekali menceritakan bagusnya buku tersebut (yang bagi saya terlihat lucu :D) saya pun akhirnya tertarik membaca buku tersebut. Saya pikir saya akan mengkhatamkan buku tersebut dalam waktu yang cukup lama TAPI nyatanya TIDAK kawan. Saya menamatkan buku tersebut dalam sekian jam saja :D. Dan sungguh buku tersebut meninggalkan kesan amat mendalam di hati saya. Membuka wawasan saya tentang Islam di Eropa pada masa keemasannya, hingga wajah Islam dewasa ini.

Salah satu bagian yang amat berkesan dan saya ingat sampai sekarang adalah ketika mbak Hanum dan teman beliau, -saya lupa namanya, sedang makan di salah satu kafe. Kemudian, ada sekelompok orang yang duduk di meja yang tidak jauh dari mereka mulai mengolok-olok Islam. Mengatakan hal-hal terkait sejarah Croissant -Roti bebentuk bulan sabit yang berasal dari Prancis- dan kekalahan Turki Utsmani. Mbak Hanum yang mendengar hal tersebut mulai emosi, beliau menuliskan di buku tersebut, "Saya udah siap-siap mau ngomel-ngomel dalam bahasa inggris :D". Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Teman mbak Hanum, memanggil pelayan, menanyakan apa saja yang dipesan oleh sekelompok orang tersebut. Membayar makanan yang dimakan mereka sendiri dan orang-orang yang mengolok-olok Islam tersebut. Memberi memo yang isinya kurang lebih "hai, saya (nama beliau) dan saya muslim. Jika ingin berdiskusi, ini alamat email saya." Masyaa Allah, sampai di bagian ini saya bergetar, menangis :'). Mbak Hanum juga menceritakan bahwa ia amat takjub dengan kebesaran hati sahabatnya itu. Beliau menanyakan mengapa sahabatnya tersebut melakukan hal tersebut. Beliau menjawab yang kira-kira begini, "Apa lagi yang harus kulakukan? Ya, aku marah. Aku marah saat mereka mengolok-olok agama kita. Lantas apa? Aku harus membalas mengolok-olok mereka? Memarahi mereka? Bukankah itu malah membuat mereka semakin anti terhadap Islam? Bukankah Islam adalah agama Rahmatan lil 'alamiin? Hanum, karena yang aku pahami Islam adalah agama Rahmatan lil 'alamiin, maka sudah seharusnya kita sebagai Agen-agen Muslim juga membawa misi Rahmatan lil 'alamiin ini dalam kehidupan kita. Dimanapun kita berada, jadilah Agen Muslim yang baik :). Allahu, sampai di sini air mata saya semakin deras mengalir :'). Menyadari bahwa diri ini masih amat jauh dari kata sempurna. Hati ini masih sering berprasangka. Lisan ini masih sering menyakiti. Diri ini masih jauh sekali dari jati diri seorang Agen Muslim yang baik, yang hadirnya membawa Rahmatan lil 'alamiin.

"Dimanapun kita berada, jadilah Agen-agen Muslim yang baik."

Kata-kata itu masih terngiang di kepala saya sampai saat ini. Meski belum sebaik yang dilakukan oleh sahabatnya Mbak Hanum, saya mencoba untuk menjadi salah satunya. Mencoba menjadi salah seorang agen muslim yang menebar kebaikan dimapun ia berada.

Hal ini yang saya rasa mulai hilang dari jiwa para muslim sekarang. eh, kenapa pula saya bilang begitu? sok tau sekali saya ya :). Tunggu dulu kawan, saya bilang seperti ini bukan tanpa fakta. Saya rasa teman-teman sekalian sering melihat orang-orang yang katanya "pejuang dakwah", tapi banyak orang yang tidak aman dari bahaya lisannya. Maksudnya apa, Mi? Ya, bisa kita lihat. Banyak sekali orang-orang yang dengan sombongnya membawa-bawa Kalamullah untuk kemudian mengkafirkan saudara-saudaranya, menyakiti hati saudaranya, membuat semangat saudaranya yang berniat mengenal Islam menjadi hilang, melipir layaknya layangan putus.

Rasulullah SAW dalam haditsnya berpesan tentang bahaya lisan yang tak terjaga
"Sesungguhnya seseorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia fikirkan - baik atau buruknya -, maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat." (Muttafaq 'alaih)

Subhanallah,, kita bisa tergelincir ke neraka hanya karena lisan kawan, hanya karena perkataan, termasuk status-status yang kita posting di media sosial. Karena itu kawan tidak semua hal yang kita rasakan harus kita share di media sosial. Mari pikirkan, apakah ada manfaatnya postingan kita untuk orang lain, apakah ada orang yang tersakiti karena postingan kita tersebut, dan yang paling penting, apakah yang kita posting benar adanya atau hanya sebuah fitnah.

Faktanya, terkadang mengetahui fakta itu menyakitkan :')

"Kebenaran harus disampaikan, Mi, meski pahit. Jadi, ngga apa-apa dong kalau ada yang tersakiti." Mungkin kita berlindung dibalik pendapat kita di atas, menafsirkan hadits tentang "penyampaian kebenaran meski pahit" semau kita, sesuai kepentingan kita. Tapi kawan, pernahkah kalian dengar hadits yang satu ini :
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau - kalau tidak dapat berkata yang baik, hendaklah ia berdiam diri saja." (Muttafaq 'alaih)
Saya rasa pasti rata-rata kita pernah tau hadits ini, meski tak selalu memahami maksud hadits Rasulullah SAW ini. Berdasarkan opini saya, hadits tentang "menyampaikan kebenaran meskipun pahit" itu selalu bersanding dengan hadits tentang "berkata yang baik atau diam" di atas. Kita wajib menyampaikan yang benar, meski ia menyakitkan tapi bukan dengan cara-cara yang buruk, bukan dengan kata-kata tak pantas, bukan dengan marah-marah, menghujat, mengkafirkan orang sana-sini. Bukan, kawan. Bukan seperti itu. Tapi, itu dengan perkataan yang baik, perbuatan yang berkelas, dengan tulisan-tulisan yang santun tapi tak kehilangan esensi kebenarannya. Seperti yang dilakukan orang-orang sekelas Ust.Salim A. Fillah, Sahabatnya Mbak Hanum, Aa Gym, dan pasti Rasulullah SAW. Saya rasa, tak perlulah saya ceritakan kisah bagaimana Rasulullah membalas orang-orang yang dulunya mencaci beliau, melempari beliau dengan kotoran, meludahi beliau, mendzalimi beliau, saya rasa teman-teman sekalian sudah mendengar betapa pemaafnya beliau, betapa santunnya beliau, dan betapa ahh.. tak perlulah saya kisahkan di sini. Silahkan baca lagi sirah beliau, menangislah lagi membacanya. Semoga sombongnya hati kita runtuh setelah itu. Aamiin :)

Saya tak paham akhirnya tulisan ini mengarah kemana sebenarnya :D, mungkin sampai sini saya akhiri dulu. Nampaknya sudah terlalu panjang ya.

Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari tulisan saya kali ini. Maafkan jika ada yang tersakiti karena tulisan saya ini. Segala yang baik semuanya berasal dari Allah dan yang buruk adalah dari saya sendiri. Semoga Allah mengampuni setiap dosa kita, setiap niat buruk yang terlintas di hati kita :)

Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.
(QS: Al-An'am Ayat: 3)

Wallahu 'alam bissahawwab

Friday, March 27, 2015

Catatan 6 : Lemahnya Hati

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah tersenyum ketika saya menuliskan catatan ini J

Ide tentang catatan ini sepertinya sudah lama sekali terpikir, hanya saja waktu itu tidak sempat dituliskan dalam catatan hingga menguap begitu saja.


Suatu ketika saat berkumpul dengan sahabat-sahabat semasa kuliah, ngobrol apa saja, kemana-mana, lebih banyak tidak jelasnya sih waktu itu :D. Sampai pada satu bahasan tentang Asmara (eeaa). Saya lupa waktu itu kami ngomongin apa awalnya, tapi saya ingat salah satu sahabat saya yang kebetulan seorang cowo bercerita tentang pertama kali ia menyukai seorang cewe dan alasan ia menyukai cewe itu amat ah.., saya ngga habis pikir dan saya pun melontarkan pertanyaan “Semudah itukah?”

Suatu ketika seorang sahabat semasa SMA bercerita pula kepada saya tentang perempuan yang ia sukai. Ia bercerita bahwa perempuan itu adalah bunga di Jurusannya, banyak sekali lelaki yang mengejarnya. Tetapi, perempuan itu memilih sahabat saya ini. Sahabat saya yang awalnya sudah bertekad tak akan berpacaran lagi, akhirnya luluh, bersimpuh tak berdaya melawan rasa yang muncul di hatinya. Dan lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan “Semudah itukah?”

Suatu ketika lagi, Sahabat yang dulunya amat dekat dengan saya:’) juga bercerita. Ada seorang akhwat yang amat cantik, cerdas, dan sholehah. Akhwat itu pun adalah seorang bunga di kampusnya. Begitu banyak lelaki yang mengejarnya, bahkan beberapa ikhwan sudah datang melamarnya, tetapi ia tolak. Dan sahabat saya ini bilang bahwa ia memang sempat menyimpan rasa untuk sang akhwat, tapi apalah ia. Suatu ketika sang akhwat menghadapi masalah dan kepada sahabat saya inilah sang akhwat “curhat”. Bermula dari curhat itulah komunikasi di antara mereka semakin intens sehingga mekarlah bunga-bunga rasa yang benihnya memang sudah ada di hati mereka masing-masing. Ternyata bukan cuma sahabat saya itu yang menyimpan rasa, sang akhwat pun sama. Dan ia berterus terang kepada sahabat saya bahwa alasan mengapa ia menolak para ikhwan yang datang melamarnya karena ia yakin sahabat saya itulah jodohnya, SubhanAllah :’(. Dan begitulah hubungan mereka berawal. Jujur saya pribadi amat terpukul mendengar yang satu ini. Mengapa? Karena mereka berdua adalah para pengemban dakwah di kampusnya. Dan lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan yang sama, kali ini dengan hati yang remuk “Semudah itukah?”

Saya sering sekali menemukan tulisan-tulisan tentang lemahnya hati wanita, dan tulisan itu biasanya diperuntukkan bagi kaum Adam agar tak mudah menggombali anak gadis orang. Tapi, Kisah sahabat-sahabat saya di atas (semoga Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka) adalah segelintir bukti bahwa hati manusia itu teramat lemah, tidak peduli ia lelaki ataupun perempuan. Hati, organ yang kata Rasulullah SAW  jika ia baik maka baiklah seluruh jasad anak Adam, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ya, ia lemah, amat lemah, ia mudah terbolak-balik. Sebentar bisa amat mencinta, sesaat kemudian ia bisa amat membenci. Sebentar bisa amat teguh, bersemangat, seperti tak ada yang bisa menggoyahkan, sesaat kemudian ia menjadi rapuh, lunglai, jatuh bersimpuh terhadap apa yang ia hadapi.

Karena lemahnya hati inilah, maka Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita agar menyegerakan segala yang baik-baik. Salah satunya, menyegerakan menikah (kode :D). Karena beliau paham betul bahwa hati manusia ini amat mudah berubah, amat mudah terhasut nafsu.

Ada suatu kalimat dalam buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” karya Ust. Salim A. Fillah (Semoga Allah limpahkan kebaikan yang tak ada putus-putusnya kepada beliau) yang amat saya sukai. Kalimatnya seperti ini “ Adakah kau dapati dalam riwayat Rasulullah memberi perhatian khusus dan care yang indah pada golongan wanita yang belum menikah? Tidak. Sama sekali. Karena setitik perhatian, senyum tulus, dan akhlaq yang baik tertuju pada hati seorang wanita, dampaknya sama seperti hujaman wajah cantik ke retina mata dan bebayang tubuh indah ke imajinasi lelaki. Laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki titik lemah dimana ujian akan datang.” Allah, saya amat bergetar membaca baris kalimat dalam buku Ust. Salim itu. Sesuai sekali dengan realita yang saya lihat dan rasakan, saya pikir. Saya bukanlah orang yang terhindar dari ujian hati, seperti ujian yang sahabat-sahabat saya alami itu. Saya juga salah satu orang yang sempat tergelincir dan (mungkin) masih mencoba merangkak naik dari lubang ujian hati tersebut. Allah, mudahkan langkah kami menuju jalan yang Engkau ridhoi :’).

Memang indah kawan ketika kita memiliki rasa terhadap seseorang dan ternyata ia pun begitu. Tapi, jika belum waktunya, belum siap dengan segala konsekuensinya. Hindari sajalah, minta tolonglah kepada Allah agar diberikan hati yang kuat.

Saya kenal seorang akhwat yang amat kuat penjagaan terhadap hatinya. Beliau adalah seorang akhwat yang Allah anugerahi wajah yang jika diukur, nilainya pasti di atas rata-rata, amat cerdas dan sholehah. Suatu ketika, beliau mendapatkan surat berwarna merah muda dan sebuah bingkisan, di situ tertera nama sang pengirim. Saya lupa ikhwan siapa. Sang akhwat kemudian meminta gunting kepada saya. Saya pikir sahabat saya ini akan membaca surat dan membuka bingkisan tersebut. “Bismillah” terucap dari bibirnya, ia pun menggunting surat tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan memberikan bingkisan kepada orang yang ada di luar tanpa membuka apa isinya. Saya yang melihat hanya bisa terperangah, takjub, tak bisa berkata apa-apa. Allah, semoga Engkau istiqomahkan hati saudari saya itu dan anugerahi kami kekuatan dan keistiqomahan seperti saudari saya itu :’).

Terakhir, Rasulullah SAW mengajarkan do’a agar hati menjadi kuat dan tetap di jalan Allah

"YAA MUQALLIBAL QULUUB, TSABBIT QALBII 'ALAA DIINIKA WA ‘ALAA THOO'ATHIK."
“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas ketaatan kepada-Mu.”