Social Icons

Pages

Thursday, July 30, 2015

Promote

Bismillah
Untuk beberapa waktu sepertinya saya tidak akan aktif di blog ini (padahal baru dikit postingannya). Ya, blog saya pindahkan ke miahanty.tumblr.com, sila difollow bagi yang berkenan. Oh iya, saya juga biasanya aktif di instagram karena saya suka memotret dan dipotret 😂. Id instagram saya: @miahanty. Terima kasih 😊

Wednesday, July 8, 2015

Sajak #2, yang bertahan

Ia yang bertahan,
Siapa yang harus pergi ketika memang itu perlu
Siapa yang kembali ketika memang itu harus
Cukup cinta menjaga langkah
Sebab pergi adalah rindu yang harus dirawat
Sebab kembali adalah cinta yang harus dijaga
Aku hanya menoleh sesaat dan wajahmu tak lagi kulihat
Aku hanya menangis sebentar dan suaramu tak lagi terdengar
Aku bertanya pada angin menghembus, pada sang langit terhampar 
Kemana rindu kan berakar? 
Saat sang senja merona sendu
Kau kata "tinggalkan aku"
Kemudian kau terheran dengan air mata pada jiwa yang terluka
Dimana cinta bertahan? 
Saat gerimis turun tak berkesudahan
Aku bilang, "aku menunggumu"


Mia, 23 Tahun
Dalam mendung Kota Medan

Tuesday, June 23, 2015

Catatan 9 : Mencintai Penanda Dosa (dinukil dari kisah yg dituturkan oleh Ust. Salim A. Fillah)

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah tersenyum ketika saya mempostingkan catatan ini.

Olaa minna san,
Karena laptop sedang dibawa adik, jadi beberapa waktu ini saya akan ngeblog lewat hp :). Harap maklum ya, kalau postingannya ngga ada gambarnya dan singkat-singkat.

Kali ini saya akan merepost sebuah kisah nyata yang dituturkan Ustadz Salim A. Fillah dalam buku beliau, menyimak kicau merajut makna.

Mari jadikan kisah berikut ini sebagai pelajaran, untuk tidak bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apapun kondisinya. Bagaimanapun caranya. Terlebih lagi dengan bumbu “ta’aruf syar’i”, “khitbah”, namun tanpa diiringi dengan ilmu yang benar dalam penerapannya? Syaithan begitu bersemangatnya dalam menggelincirkan manusia. Apabila yang berlabel “aktivis dakwah” saja tergelincir dalam tipu muslihatnya, bagaimanatah lagi dengan kami yang sekadar berlabel ‘orang awam”?

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”


Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“Subhanallah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Kisah ini pertama kali saya baca bukan dari buku beliau tapi dari suatu page dakwah di facebook sekitar akhir tahun lalu. Jujur, bahkan setelah beberapa kali membaca mata saya tetap saja gerimis dan hati saya bergetar. Betapa amat sangat halus godaan setan itu. Mereka tak pernah kehabisan cara menggoda manusia, bahkan mereka para aktivis dakwah pun bisa terjerumus ke dalam dosa besar yang ahh.. saya tak tahu harus berkata apa, apatah lagi saya, kita, yang masih awam, yang masih begitu dangkal ilmu dan imannya.
Dan dari kisah ini pula saya belajar, betapa ia, sang perempuan, amat sangat tangguh. Saya malu, saya tak ada apa-apanya dibanding beliau, saya yang masih sering mengeluhkan masalah yang jauh lebih kecil dari apa yg menimpa beliau. Ahh, ternyata surga masih jauh.

Monday, June 22, 2015

Sajak #1 : untukmu, masa lalu

Untukmu,
Duhai masa lalu
Baik-baiklah di tempatmu yang baru
Karena di hati dan hidupku
Tak kutemukan lagi tentangmu

Duhai engkau
Sang masa lalu
Jangan pernah lagi ada
Untuk sekedar rindu bahkan sesal

Masa lalu,
Setelah kau pergi hari itu
Aku memutuskan membunuhmu
Membunuhmu dari hati, ingatan dan kenanganku

Hai masa lalu,
Biarlah kali ini kita kembali menjadi dua insan yang saling asing
Mohon hargai
Inilah caraku untuk berdamai dengan hatiku

Duhai kau,
Sang masa lalu
Aku memang tak bisa menghapusmu menyeluruh
Karena tak kupungkiri
Kau telah menjadi jejak hidupku

Hai kau masa lalu,
Untukmu kuucapkan terima kasih
Karenamu aku bisa menjadi pribadi yang baru
Kutemukan banyak cinta, harapan, dan segala yang lebih berwarna

Wahai masa laluku,
Engkau pun berhak berbahagia
Tapi maaf, di hidupku kau sudah lama mati 


5 Ramadhan,
di tengah terik kota kelahiran 
Mia, 23 tahun 

Friday, June 12, 2015

catatan 8 : Senja dan Rasa Syukur yang Sempat Terlupa

Bismilahirrahmanirrahiim

Semoga Allah senantiasa tersenyum ketika saya mengetikkan catatan ini :)

Sudah lama rasanya tak menuliskan sesuatu di blog sederhana ini, maafkan ya pemirsah. Banyak faktor yang membuat saya memutuskan berhenti sejenak berkabar di media sosial :)

Berawal dari rasa jenuh terhadap pekerjaan, bosan melihat pemandangan yang sama setiap harinya dari jendela angkot yang itu-itu saja, akhirnya dengan bermodal niat, tekad, dan nekat berangkatlah saya dan teman sekantor yang sama-sama berjiwa petualang :D ke Pulau di ujung Sumatera itu. Pulau Weh namanya.

Bukan bermaksud berbangga bahwa saya sudah sampai di sana kawan. Tidak. Di sini saya akan membagi rasa dan hal-hal luar biasa yang saya temukan di sana :)

Saat berada di Pulau paling Utara Sumatera itu, hal yang paling tak ternilai dan tak tergantikan yang saya dapatkan adalah ketika memandang langit senja di tepi laut. Langit yang perlahan berubah menjadi jingga, pepohonan yang hijau, warna air laut yang perlahan berubah gelap karena mulai menghilangnya cahaya sang surya, perahu-perahu yang mulai ditambatkan, dan sayup-sayup suara muadzin Aceh, Masyaa Allah... tak dapat saya bahasakan perasaan seperti apa yang muncul di hati saya kala itu. Saya cuma bisa tertegun saat itu, seolah waktu di sekitar saya berhenti. Saya begitu terpesona. Betapa amat syahdu suasana kala itu.

Dokumentasi Pribadi, Sabang 15-05-15
Tiba-tiba hati saya disergap perasaan biru yang amat syahdu, betapa selama ini amat tidak bersyukurnya saya. Betapa amat sering saya mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa saya miliki padahal Allah telah memberikan begitu banyak hal lain yang bisa saya nikmati. Salah satunya lukisan megah senja ini. Tanpa terasa air mata saya menetes.

Beberapa menit saya duduk di sana, saya merasakan hati saya terasa penuh. Penuh oleh rasa Cinta kepada Dia Sang Maha Indah. Hati yang beberapa lama ini kering, kering karena rasa jenuh, rasa jenuh yang muncul karena lupanya bersyukur.

Syukur...

Ternyata di sana jawaban atas rasa jenuh yang selama beberapa saat membelenggu diri, jenuh dengan pekerjaan yang gitu-gitu aja, padahal jika saya mau bersyukur kala itu, jika saya menyadari bahwa banyak orang di luar sana yang masih bersusah payah mencari pekerjaan yang layak untuk hidupnya, kata "jenuh" itu tidak akan pernah terucap dari lisan saya.

Memandang lembayung itu, begitu banyak rasa syukur yang muncul. Begitu banyak jawaban yang saya temukan. Begitu banyak hal-hal di sekitar yang saya lupakan. Dan di sana juga saya menyadari bahwa betapa tak ada apa-apanya diri ini. Betapa Maha Agungnya Allah.

Setelah sekian menit berdiam, merenung, teman saya menyadarkan saya, mengajak menuju masjid untuk menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kala itu teman saya berkata. Kata-kata yang saya ingat sampai sekarang.

"Orang yang dekat dengan alam biasanya ia juga akan dekat dengan Tuhannya"

Semoga kita diberi keistoqomahan untuk selalu menjadi hamba yang senantiasa mendekat kepadaNya. AAmiin ya Rabbal'alamiin.



Mia, 23 tahun



Thursday, April 16, 2015

Catatan 7 : Buku 99 Cahaya di Langit Eropa, Menjadi Agen Muslim yang Baik, dan Lisan yang Terjaga

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah senantiasa tersenyum ketika saya memposting tulisan saya ini :)

Sudah lama nih ngga nulis di blog, makanya jemari ini agak bergetar ketika kembali mengetikkan setiap huruf pada tulisan kali ini (lebayy :D).

Ya sudah, kali ini saya akan sedikit menuliskan tentang sebuah buku. Judul buku tersebut adalah "99 Cahaya di Langit Eropa" karya mbak Hanum Salsabiela Rais dan suami. Saya rasa hampir seluruh dari yang baca blog saya ini (kaya banyak yg baca aja) tahu atau setidaknya familiar dengan judul buku di tersebut. Ya, cerita dari buku tersebut sudah diangkat ke layar lebar dengan judul "Berjalan di atas Cahaya" (kalau ngga salah :D). Saya sendiri sampai sekarang belum nonton filmnya sih. Kalau ada yang belum pernah baca bukunya, saya sarankan cari di toko buku terdekat, beli, kemudian baca. Insyaa Allah anda tidak akan menyesal, kawan :).

Buku ini pertama kali saya baca sekitar dua atau tiga tahun lalu, saya pun lupa. Waktu itu seorang sahabat meminjamkan kepada saya dengan lebih dulu "ngoceh" tentang bagusnya buku tersebut. Awalnya saya kurang tertarik membacanya, karena waktu itu lagi sibuk-sibuknya jadi panitia suatu kegiatan yang cukup besar jadi mikir, "mana sempat baca buku". Tapi, setelah mendengar "spoiler" dari sahabat saya dan melihat ekspresi beliau yang semangat sekali menceritakan bagusnya buku tersebut (yang bagi saya terlihat lucu :D) saya pun akhirnya tertarik membaca buku tersebut. Saya pikir saya akan mengkhatamkan buku tersebut dalam waktu yang cukup lama TAPI nyatanya TIDAK kawan. Saya menamatkan buku tersebut dalam sekian jam saja :D. Dan sungguh buku tersebut meninggalkan kesan amat mendalam di hati saya. Membuka wawasan saya tentang Islam di Eropa pada masa keemasannya, hingga wajah Islam dewasa ini.

Salah satu bagian yang amat berkesan dan saya ingat sampai sekarang adalah ketika mbak Hanum dan teman beliau, -saya lupa namanya, sedang makan di salah satu kafe. Kemudian, ada sekelompok orang yang duduk di meja yang tidak jauh dari mereka mulai mengolok-olok Islam. Mengatakan hal-hal terkait sejarah Croissant -Roti bebentuk bulan sabit yang berasal dari Prancis- dan kekalahan Turki Utsmani. Mbak Hanum yang mendengar hal tersebut mulai emosi, beliau menuliskan di buku tersebut, "Saya udah siap-siap mau ngomel-ngomel dalam bahasa inggris :D". Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Teman mbak Hanum, memanggil pelayan, menanyakan apa saja yang dipesan oleh sekelompok orang tersebut. Membayar makanan yang dimakan mereka sendiri dan orang-orang yang mengolok-olok Islam tersebut. Memberi memo yang isinya kurang lebih "hai, saya (nama beliau) dan saya muslim. Jika ingin berdiskusi, ini alamat email saya." Masyaa Allah, sampai di bagian ini saya bergetar, menangis :'). Mbak Hanum juga menceritakan bahwa ia amat takjub dengan kebesaran hati sahabatnya itu. Beliau menanyakan mengapa sahabatnya tersebut melakukan hal tersebut. Beliau menjawab yang kira-kira begini, "Apa lagi yang harus kulakukan? Ya, aku marah. Aku marah saat mereka mengolok-olok agama kita. Lantas apa? Aku harus membalas mengolok-olok mereka? Memarahi mereka? Bukankah itu malah membuat mereka semakin anti terhadap Islam? Bukankah Islam adalah agama Rahmatan lil 'alamiin? Hanum, karena yang aku pahami Islam adalah agama Rahmatan lil 'alamiin, maka sudah seharusnya kita sebagai Agen-agen Muslim juga membawa misi Rahmatan lil 'alamiin ini dalam kehidupan kita. Dimanapun kita berada, jadilah Agen Muslim yang baik :). Allahu, sampai di sini air mata saya semakin deras mengalir :'). Menyadari bahwa diri ini masih amat jauh dari kata sempurna. Hati ini masih sering berprasangka. Lisan ini masih sering menyakiti. Diri ini masih jauh sekali dari jati diri seorang Agen Muslim yang baik, yang hadirnya membawa Rahmatan lil 'alamiin.

"Dimanapun kita berada, jadilah Agen-agen Muslim yang baik."

Kata-kata itu masih terngiang di kepala saya sampai saat ini. Meski belum sebaik yang dilakukan oleh sahabatnya Mbak Hanum, saya mencoba untuk menjadi salah satunya. Mencoba menjadi salah seorang agen muslim yang menebar kebaikan dimapun ia berada.

Hal ini yang saya rasa mulai hilang dari jiwa para muslim sekarang. eh, kenapa pula saya bilang begitu? sok tau sekali saya ya :). Tunggu dulu kawan, saya bilang seperti ini bukan tanpa fakta. Saya rasa teman-teman sekalian sering melihat orang-orang yang katanya "pejuang dakwah", tapi banyak orang yang tidak aman dari bahaya lisannya. Maksudnya apa, Mi? Ya, bisa kita lihat. Banyak sekali orang-orang yang dengan sombongnya membawa-bawa Kalamullah untuk kemudian mengkafirkan saudara-saudaranya, menyakiti hati saudaranya, membuat semangat saudaranya yang berniat mengenal Islam menjadi hilang, melipir layaknya layangan putus.

Rasulullah SAW dalam haditsnya berpesan tentang bahaya lisan yang tak terjaga
"Sesungguhnya seseorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia fikirkan - baik atau buruknya -, maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat." (Muttafaq 'alaih)

Subhanallah,, kita bisa tergelincir ke neraka hanya karena lisan kawan, hanya karena perkataan, termasuk status-status yang kita posting di media sosial. Karena itu kawan tidak semua hal yang kita rasakan harus kita share di media sosial. Mari pikirkan, apakah ada manfaatnya postingan kita untuk orang lain, apakah ada orang yang tersakiti karena postingan kita tersebut, dan yang paling penting, apakah yang kita posting benar adanya atau hanya sebuah fitnah.

Faktanya, terkadang mengetahui fakta itu menyakitkan :')

"Kebenaran harus disampaikan, Mi, meski pahit. Jadi, ngga apa-apa dong kalau ada yang tersakiti." Mungkin kita berlindung dibalik pendapat kita di atas, menafsirkan hadits tentang "penyampaian kebenaran meski pahit" semau kita, sesuai kepentingan kita. Tapi kawan, pernahkah kalian dengar hadits yang satu ini :
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau - kalau tidak dapat berkata yang baik, hendaklah ia berdiam diri saja." (Muttafaq 'alaih)
Saya rasa pasti rata-rata kita pernah tau hadits ini, meski tak selalu memahami maksud hadits Rasulullah SAW ini. Berdasarkan opini saya, hadits tentang "menyampaikan kebenaran meskipun pahit" itu selalu bersanding dengan hadits tentang "berkata yang baik atau diam" di atas. Kita wajib menyampaikan yang benar, meski ia menyakitkan tapi bukan dengan cara-cara yang buruk, bukan dengan kata-kata tak pantas, bukan dengan marah-marah, menghujat, mengkafirkan orang sana-sini. Bukan, kawan. Bukan seperti itu. Tapi, itu dengan perkataan yang baik, perbuatan yang berkelas, dengan tulisan-tulisan yang santun tapi tak kehilangan esensi kebenarannya. Seperti yang dilakukan orang-orang sekelas Ust.Salim A. Fillah, Sahabatnya Mbak Hanum, Aa Gym, dan pasti Rasulullah SAW. Saya rasa, tak perlulah saya ceritakan kisah bagaimana Rasulullah membalas orang-orang yang dulunya mencaci beliau, melempari beliau dengan kotoran, meludahi beliau, mendzalimi beliau, saya rasa teman-teman sekalian sudah mendengar betapa pemaafnya beliau, betapa santunnya beliau, dan betapa ahh.. tak perlulah saya kisahkan di sini. Silahkan baca lagi sirah beliau, menangislah lagi membacanya. Semoga sombongnya hati kita runtuh setelah itu. Aamiin :)

Saya tak paham akhirnya tulisan ini mengarah kemana sebenarnya :D, mungkin sampai sini saya akhiri dulu. Nampaknya sudah terlalu panjang ya.

Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari tulisan saya kali ini. Maafkan jika ada yang tersakiti karena tulisan saya ini. Segala yang baik semuanya berasal dari Allah dan yang buruk adalah dari saya sendiri. Semoga Allah mengampuni setiap dosa kita, setiap niat buruk yang terlintas di hati kita :)

Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.
(QS: Al-An'am Ayat: 3)

Wallahu 'alam bissahawwab

Friday, March 27, 2015

Catatan 6 : Lemahnya Hati

Bismillahirrahmanirrahiim

Semoga Allah tersenyum ketika saya menuliskan catatan ini J

Ide tentang catatan ini sepertinya sudah lama sekali terpikir, hanya saja waktu itu tidak sempat dituliskan dalam catatan hingga menguap begitu saja.


Suatu ketika saat berkumpul dengan sahabat-sahabat semasa kuliah, ngobrol apa saja, kemana-mana, lebih banyak tidak jelasnya sih waktu itu :D. Sampai pada satu bahasan tentang Asmara (eeaa). Saya lupa waktu itu kami ngomongin apa awalnya, tapi saya ingat salah satu sahabat saya yang kebetulan seorang cowo bercerita tentang pertama kali ia menyukai seorang cewe dan alasan ia menyukai cewe itu amat ah.., saya ngga habis pikir dan saya pun melontarkan pertanyaan “Semudah itukah?”

Suatu ketika seorang sahabat semasa SMA bercerita pula kepada saya tentang perempuan yang ia sukai. Ia bercerita bahwa perempuan itu adalah bunga di Jurusannya, banyak sekali lelaki yang mengejarnya. Tetapi, perempuan itu memilih sahabat saya ini. Sahabat saya yang awalnya sudah bertekad tak akan berpacaran lagi, akhirnya luluh, bersimpuh tak berdaya melawan rasa yang muncul di hatinya. Dan lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan “Semudah itukah?”

Suatu ketika lagi, Sahabat yang dulunya amat dekat dengan saya:’) juga bercerita. Ada seorang akhwat yang amat cantik, cerdas, dan sholehah. Akhwat itu pun adalah seorang bunga di kampusnya. Begitu banyak lelaki yang mengejarnya, bahkan beberapa ikhwan sudah datang melamarnya, tetapi ia tolak. Dan sahabat saya ini bilang bahwa ia memang sempat menyimpan rasa untuk sang akhwat, tapi apalah ia. Suatu ketika sang akhwat menghadapi masalah dan kepada sahabat saya inilah sang akhwat “curhat”. Bermula dari curhat itulah komunikasi di antara mereka semakin intens sehingga mekarlah bunga-bunga rasa yang benihnya memang sudah ada di hati mereka masing-masing. Ternyata bukan cuma sahabat saya itu yang menyimpan rasa, sang akhwat pun sama. Dan ia berterus terang kepada sahabat saya bahwa alasan mengapa ia menolak para ikhwan yang datang melamarnya karena ia yakin sahabat saya itulah jodohnya, SubhanAllah :’(. Dan begitulah hubungan mereka berawal. Jujur saya pribadi amat terpukul mendengar yang satu ini. Mengapa? Karena mereka berdua adalah para pengemban dakwah di kampusnya. Dan lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan yang sama, kali ini dengan hati yang remuk “Semudah itukah?”

Saya sering sekali menemukan tulisan-tulisan tentang lemahnya hati wanita, dan tulisan itu biasanya diperuntukkan bagi kaum Adam agar tak mudah menggombali anak gadis orang. Tapi, Kisah sahabat-sahabat saya di atas (semoga Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka) adalah segelintir bukti bahwa hati manusia itu teramat lemah, tidak peduli ia lelaki ataupun perempuan. Hati, organ yang kata Rasulullah SAW  jika ia baik maka baiklah seluruh jasad anak Adam, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ya, ia lemah, amat lemah, ia mudah terbolak-balik. Sebentar bisa amat mencinta, sesaat kemudian ia bisa amat membenci. Sebentar bisa amat teguh, bersemangat, seperti tak ada yang bisa menggoyahkan, sesaat kemudian ia menjadi rapuh, lunglai, jatuh bersimpuh terhadap apa yang ia hadapi.

Karena lemahnya hati inilah, maka Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita agar menyegerakan segala yang baik-baik. Salah satunya, menyegerakan menikah (kode :D). Karena beliau paham betul bahwa hati manusia ini amat mudah berubah, amat mudah terhasut nafsu.

Ada suatu kalimat dalam buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” karya Ust. Salim A. Fillah (Semoga Allah limpahkan kebaikan yang tak ada putus-putusnya kepada beliau) yang amat saya sukai. Kalimatnya seperti ini “ Adakah kau dapati dalam riwayat Rasulullah memberi perhatian khusus dan care yang indah pada golongan wanita yang belum menikah? Tidak. Sama sekali. Karena setitik perhatian, senyum tulus, dan akhlaq yang baik tertuju pada hati seorang wanita, dampaknya sama seperti hujaman wajah cantik ke retina mata dan bebayang tubuh indah ke imajinasi lelaki. Laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki titik lemah dimana ujian akan datang.” Allah, saya amat bergetar membaca baris kalimat dalam buku Ust. Salim itu. Sesuai sekali dengan realita yang saya lihat dan rasakan, saya pikir. Saya bukanlah orang yang terhindar dari ujian hati, seperti ujian yang sahabat-sahabat saya alami itu. Saya juga salah satu orang yang sempat tergelincir dan (mungkin) masih mencoba merangkak naik dari lubang ujian hati tersebut. Allah, mudahkan langkah kami menuju jalan yang Engkau ridhoi :’).

Memang indah kawan ketika kita memiliki rasa terhadap seseorang dan ternyata ia pun begitu. Tapi, jika belum waktunya, belum siap dengan segala konsekuensinya. Hindari sajalah, minta tolonglah kepada Allah agar diberikan hati yang kuat.

Saya kenal seorang akhwat yang amat kuat penjagaan terhadap hatinya. Beliau adalah seorang akhwat yang Allah anugerahi wajah yang jika diukur, nilainya pasti di atas rata-rata, amat cerdas dan sholehah. Suatu ketika, beliau mendapatkan surat berwarna merah muda dan sebuah bingkisan, di situ tertera nama sang pengirim. Saya lupa ikhwan siapa. Sang akhwat kemudian meminta gunting kepada saya. Saya pikir sahabat saya ini akan membaca surat dan membuka bingkisan tersebut. “Bismillah” terucap dari bibirnya, ia pun menggunting surat tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan memberikan bingkisan kepada orang yang ada di luar tanpa membuka apa isinya. Saya yang melihat hanya bisa terperangah, takjub, tak bisa berkata apa-apa. Allah, semoga Engkau istiqomahkan hati saudari saya itu dan anugerahi kami kekuatan dan keistiqomahan seperti saudari saya itu :’).

Terakhir, Rasulullah SAW mengajarkan do’a agar hati menjadi kuat dan tetap di jalan Allah

"YAA MUQALLIBAL QULUUB, TSABBIT QALBII 'ALAA DIINIKA WA ‘ALAA THOO'ATHIK."
“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas ketaatan kepada-Mu.”

Wednesday, March 25, 2015

Catatan 5 : Belum Nemu Judul yg Pas -_-

Bismillahirrahmanirrahiim

Ini karya fiksi pertama yang saya tulis di blog ini, belum sempat dikasih judul karena belum nemu yang pas. Blognya juga belum sempat dimodif :D karena keterbatasan ilmu dan waktu, kalau ada dari para blogger yang bisa membantu saya menghias blog, saya amat berharap bimbingannya, yoroshikuu. Selamat Membaca 

Semoga Allah tersenyum ketika saya menuliskan catatan-catatan di blog ini :)


Sebulan terakhir kondisi tubuh Mira terlihat amat "mengenaskan". Lihat saja, wajahnya yang biasanya bersinar berhias senyum laksana matahari itu sekarang bagai langit mendung di malam hari, hanya kemuraman yang terlihat di sana. Jika ada senyum yang ia sunggingkan, itu adalah senyum dalam tangis yang tertahan. Badannya yang berisi dengan pipi yang gembil seperti bocah lima tahun itu kini terlihat lebih kurus, pipinya pun lebih tirus. Setiap tatapannya adalah tatapan penuh luka, meski ia coba sembunyikan gerimis di hatinya yang terpancar pada tatapan matanya dengan senyum. Tapi, tak ada teman sejati yang bisa dibohongi dengan senyum "pura-pura kuat" itu. 
Arini, rekan kerja sekaligus sahabat Mira yang pertama kali menyadari perubahan pada sahabatnya itu. Ia bertanya kepada Mira perihal kejadian apa yang membuat Mira "sang Periang" itu berubah menjadi begitu muram akhir-akhir ini. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari mulut Mira, ia hanya memeluk Arini dan menangis sejadi-jadinya. Arini memutuskan tak bertanya lebih lanjut, ia hanya membiarkan Mira menangis di pelukannya. Ia paham, sahabatnya yang satu ini butuh waktu untuk kemudian bisa bercerita. Mira adalah gadis yang sangat periang, ada saja ucapannya yang bisa membuat orang lain tertawa, karena itu begitu banyak orang yang senang berada di dekatnya. Tetapi, Arini tahu, di balik ceria sahabatnya itu, Mira adalah gadis yang amat kuat, begitu banyak luka masa lalu yang pernah dialaminya dan ia tetap tegar tersenyum. Arini tahu itu. Tapi, kali ini apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu hingga begitu deras hujan yang membasahi pundak Arini? Ia tak berani bertanya.

Mira menyeka sisa-sisa gerimis di matanya dengan tisu yang disodorkan Arini, ia masih diam memperhatikan wajah khawatir Arini, hanya sebuah senyum tersungging di wajahnya. "Makasih, Rin". Mira berbicara. "Maaf, baju kamu jadi basah gara-gara aku". lanjut Mira. "Ga apa-apa,Mir. Kamu kenapa, Mir?" Arini akhirnya memberanikan diri bertanya kepada sahabatnya itu. Mira diam, kemudian menggeleng "Aku tak apa-apa, Rin. Terima kasih sudah mau membiarkan aku menangis di pundakmu, aku lebih baik sekarang". Mira berkata dengan mata yang masih berkaca-kaca. Arini tahu, Mira berbohong mengatakan ia sudah lebih baik, ia amat tahu sifat sahabatnya itu, Mira tak pernah membiarkan orang lain sakit karenanya, ia tipikal perempuan yang amat memikirkan perasaan orang lain di atas perasaannya, amat "tidak tegaan", ia paham Mira tak ingin membuatnya sedih dengan menceritakan maslahnya kepada Arini. Tapi, apa salahnya membagi kesedihan kepada sahabat? Arini ingin bertanya lagi, ketika mulutnya akan membuka. "Rin, jam istirahat udah mau beres tuh, yuu balik ke kantor, proyek yang diserahkan ke kita belum beres" Mira mendahuluinya. Tuhan, Mira masih memikirkan proyek di saat seperti ini. Beberapa saat lalu ia menangis sampai sesenggukan dan kini ia bicara mengenai proyek. Arini tak habis pikir, sebesar apa hati sahabatnya itu. (Bersambung...)

Sunday, March 22, 2015

Catatan 4 : Kolak Pisang, Mimpi Indah, dan Halaqah

Bissmillahirrahmanirrahiim

dokumentasi pribadi: Pemandangan dari atap kosan
di waktu senja
Tulisan kali ini isinya mungkin lebih ke curcol (kayanya semua postingan mia curcol ya :D), tapi tak apalah. Semoga ada hikmah (meski sedikit) yang bisa sama-sama kita petik dari curcol saya kali ini.

Judul catatan keempat ini agak aneh ya? Apa pula hubungan kolak pisang, mimpi indah, dan halaqah? Jawabannya memang mereka ngga ada hubungannya sama sekali. Judul itu saya pilih karena tiga hal itu yang menggambarkan hari sabtu saya ini :).

Sabtu pagi itu, setelah selesai bercengkrama dengan-Nya, saya iseng(?) ke dapur, Ibu sedang membuat nasi goreng untuk sarapan seisi rumah. Kemudian, kedua mata saya menangkap gambaran sebuah panci yang teronggok di atas kompor dan pikiran saya pun tergelitik untuk membuka penutup pancinya (lebayy). Sebenernya udah tau sih itu panci pasti isinya kolak pisang soalnya pas malam udah lihat. Sedikit flash back dulu ya. Beberapa hari yang lalu kita baru panen pisang yang ada di belakang rumah. Alhamdulillah, hasilnya lumayan banyak, sebagian dijadikan keripik, gorengan, dan yang terakhir ini dijadikan kolak. Nah, lanjut curhatan saya, singkat cerita saya langsung ambil wadah buat kolak, ambil kolak terus ngacir ke depan untuk menikmati kolak pisang. Alhamdulillah, sungguh tak terhitung nikmat Allah untuk saya pagi itu :). Teringat sebulan lalu saya sama sekali tidak tertarik untuk makan, jangankan makan kolak pisang pagi-pagi, disuguhi mie aceh saja yang merupakan makanan favorit saya (kode detected :D) selepas kerja yang biasanya adalah waktu lapar-laparnya saya, saya ngga sentuh itu mie aceh sama sekali. Jadi, saat saya sudah bisa menikmati enaknya kolak pisang di sabtu pagi ini adalah satu hal yang amat saya syukuri. Kecil memang, hanya sebatas nafsu makan. Tapi, ketika Allah cabut nikmat nafsu makan dari kita, percayalah kawan rasanya amat tidak enak :').

Selepas makan kolak pisang saya bantu-bantu ibu beberes rumah dan lain-lain, mumpung libur kerja dan sekalian memanfaatkan waktu sebelum Liqo jam 11 nantinya. Tak terasa beberes udah selesai, saya melirik jam, ternyata masih jam 8 lebih sedikit waktu itu. Masih banyak waktu nih pikir saya, terus saya ngegoler-goler lagi, niatnya mah ngegoler-goler aja, ternyata saya ketiduran :D. Dalam tidur  itulah saya Alhamdulillah memperoleh nikmat dalam bentuk lain. Nikmat mimpi indah :). Mimpi apa? untuk satu ini, saya ngga bisa cerita hehe... yang pasti indah kawan, mimpi tentang sesuatu yang selalu ada dalam doa saya sebulan terakhir ini :). Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Baginda Rasulullah SAW bersabda "Mimpi yang baik itu dari Allah sedang mimpi buruk itu dari setan. Barangsiapa bermimpi buruk, kemudian meludah ke kiri (tanpa keluar air ludah) tiga kali dan mengucapkan ta'awwudz (yaitu, ucapan audzubillahi minasyaitanirrojim), maka syaitan tidak akan mengganggunya dan hendaknya tidak memberitahu siapapun. Dan barangsiapa yang bermimpi baik, maka bergembiralah dan jangan memberitahu kecuali pada orang yang kamu senangi." Semoga Allah kabulkan doa-doa kita ya, kawan :).

Jam menunjukkan pukul 11, sahabat yang akan menjemput ke rumah biar pergi bareng ke tempat Liqo belum datang juga. Beberapa saat kemudian handphone saya berbunyi. Sms dari sang sahabat masuk dan ternyata ia mengalami sedikit kendala yang membuatnya tidak bisa datang tepat waktu. Saya akhirnya pergi sendiri ke tempat Liqo. Sepanjang jalan menuju ke tempat Liqo saya udah disms-in, dibbm-in, dimessage-in sama sahabat-sahabat se-liqoan.  dan ya... saya telat, telat banget. Semua (kecuali sahabat saya yg tadi) sudah berkumpul, jadi merasa bersalah, kenapa tadi ngga menghubungi sahabat saya itu lebih awal :'(. Malu banget pas melangkah masuk ke masjid itu, tapi sewaktu melihat lingkaran di pojokan itu, melihat wajah-wajah teduh yang tersenyum itu, ahh... sungguh saya tak bisa ungkapkan rasa yang muncul seketika di hati. Sungguh aku amat mencintai mereka Allah :'). Kekalkan ikatan kami sampai ke Jannah-Mu, Allahku :').

Masih banyak sekali yang terjadi hari sepanjang sabtu ini, tapi saya sudahi sampai sini aja curcolnya ya. Khawatir kepanjangan :D. Semoga memang ada hikmah yang dapat dipetik dari tulisan saya ini kawan.

Sungguh Engkau adalah penulis skenario kehidupan terbaik, Allahku :)

Wallahu'alam bisshawwaab









Saturday, March 21, 2015

Catatan 3 : Tentang Istikharah (Repost)

Bismillahirrahmanirrahiim...

Catatan kali ini merupakan repost dari catatan blog salah seorang sahabat terbaik yang bersedia berada di sisi saya yang penuh aib ini. Semoga kebaikan selalu mengalir kepadanya.

Catatan ini saya temukan ketika saya searching tentang istikharah dan ternyata tulisan beliau lah yang muncul di hasil pencarian. Langsung saja, check this out :D

Banyak yang "kayaknya"akan mengasosiasikan istikharah dengan jodoh. Hehehe. Istikharah untuk mencari petunjuk, apakah ikhwan A atau ikhwan B yang akan diterima lamarannya? Atau apakah akhwat C atau akhwat D yang akan di lamar? enggak kok...kali ini insyAllah netral (ups). 

Selama ini, saya agak salah memahami tentang tujuan istikharah.

Before: istikharah ketika hati kita netral, dan meminta dipilihkan Allah satu yang terbaik di antara beberapa pilihan.

After :istikharah ternyata untuk meminta petunjuk, apakah pilihan yang sudah kita pilih merupakan yang terbaik menurut Allah?

Hati manusia, tidak mungkin pernah netral. Paling tidak, itu yang selama ini dialami pribadi. Hampir bisa dipastikan akan ada kecenderungan meski sedikit pada satu di antara beberapa pilihan. Walaupun lisan bilang "netral", hati dan Allah tau, apa harapan terdalam kita.

Contoh kasus:
Kita diterima kerja di dua perusahaan, perusahaan Gajah dan perusahaan Kancil. Gaji di perusahaan Gajah, lebih besar dari perusahaan Kancil. Fasilitas lengkap, asuransi kesehatan, dapat mobil kantor, dll. Tapi konon, perusahaan Gajah, banyak ladang "basah", kita harus kuat iman deh pokoknya. Sementara itu, perusahaan Kancil adalah perusahaan yang masih berkembang. Gaji pas-pasan, fasilitas juga pas. Tapi perusahaan Kancil adalah perusahaan yang amanah. Jika kita dihadapkan pada pilihan ini, kita pilih yang mana? Atau bagaimana doa istikharah kita?

Bahwa hati manusia tidak mungkin pernah benar-benar netral. Jujur, kalo dihadapkan pada situasi di atas, saya lebih memilih perusahaan Gajah, karena sebagai manusia...kita ingin segala sesuatu yang terjamin, yang jelas, dan perusahaan Gajah-lah yang lebih jelas menjanjikan kesejahteraan (meskipun itu fana banget!).  Tapi ketika istikharah, bagaimana redaksi doa yang akan saya panjatkan (atau kita?)

Yang ini: 
"Ya Allah, jika perusahaan Gajah yang terbaik bagiku, bagi dunia dan akhiratku, maka mudahkanlah." Dan Jika PT.Kancil yang terbaik bagiku, bagi dunia akhiratku, maka mudahkanlah."  

atau

 "Ya Allah, pilihkanlah yang terbaik untuk agamaku, dunia, dan akhiratku, Pt.Gajah atau PT.Kancil? Beri hamba petunjukMu. Aamiin.."

Jika kita baca doa istikharah sesuai hadist, redaksi kalimatnya bukan untuk meminta dipilihkan yang terbaik. Tapi kita sudah menentukan pilihan, kemudian kita meminta petunjuk Allah, apakah pilihan kita merupakan yang terbaik apa bukan? Kata kuncinya adalah: kita sebelumnya sudah punya pilihan.

Kemudian..bagaimana kita tau jawaban doa istikharah kita?

Sebelumnya, saya juga sering mengira, jawaban istikharah kita adalah lewat mimpi, atau lewat petunjuk yang tiba-tiba datang. Kalau seperti contoh kasus di atas, mungkin ketika kita selesai istikharah, pas nyalain TV, langsung ada iklan sarung yang ada Nicholas Saputranya -->Gajah Duduk.Kemudian kita menyimpulkan, itu adalah petunjuk Allah, kalo perusahaan Gajahlah yang terbaik untuk kita. Kemudian kita senang, karena ternyata petunjuk Allah sesuai dengan kecenderungan kita. Yes, kata Allah juga Perusahaan Gajah yang terbaik. Hati-hati...

Bisa jadi, itu adalah ujiannya. Kita secara tidak sadar, akan lebih fokus pada hal-hal yang ingin kita lihat atau sedang kita pikirkan. Padahal, bisa jadi..sebelum nyalain TV, kita sebenarnya sudah melihat gambar Kancil di pintu kulkas . Tapi karena kita sudah cenderung pada perusahaan Gajah, si Kancil pun dicuekin.

Kalo kata pa Ustad, jawaban doa istikharah tidak selalu lewat petunjuk seperti mimpi, kebetulan, atau fenomena alam. Jika sesuatu yang kita inginkan itu akhirnya terjadi, itu adalah jawaban doa istikharah kita, karena artinya Allah telah berkehendak. Allah akan mudahkan jalannya dan Allah akan bukakan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka, jika hal yang kita maksud adalah yang terbaik. Tapi, jika hal yang kita inginkan tidak terjadi, itu berarti bukan yang terbaik bagi kita. Ada saja sesuatu penghalang yang membuat hal yang kita maksud batal terjadi.  Akan ada sesuatu yang dengan indahnya Allah mengarahkan kita menuju yang terbaik menurutNya.

Pada akhirnya, Allah Maha Baik. Ia menjawab doa-doa hambanya dengan cara yang tidak disangka-sangka.

Jujur, sewaktu saya membaca catatan beliau ini, hati saya langsung berkata "wah, inilah yang benar-benar saya cari". Semoga Allah berikan kebaikan yang tak putus kepada beliau dan semoga catatan kali ini juga memberi manfaat bagi kita semua yang membacanya.

 Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (AL-Baqarah (2) : 186)

sumber : http://anisamartiana.blogspot.com/search/label/Dakwah

Friday, March 20, 2015

Catatan 2 : Syukur Terus, Sampai Kapan?

Bismillahirrahmanirrahiim...


Tulisan ini saya buat bukan dengan maksud buruk loh ya :). Judul di atas terinsipirasi oleh percakapan dengan rekan-rekan kerja beberapa hari lalu. Kira-kira begini isi percakapannya.

Suatu sore selepas Sholat Ashar di dapur kantor
Saya : *sedang mencuci tangan di wastafel sambil batuk-batuk dan sesekali menyeka hidung yang meler
Kakak A : Teh mia sakit?
Saya : Alhamdulillah, iya kakak, agak sedikit flu
Kakak A : kok Alhamdulillah teh?
Saya : *nyengir :
Tiba-tiba teman yang lain menimpali
Kakak B : Memang harus gitulah kak, harus bersyukur dalam keadaan apapun. Lagi sakit syukur masih dikasih rezeki bisa ke rumah sakit berobat. Terus kalau ngga bisa berobat syukur masih dikasih rezeki bisa beli obat di warung. Kalau ngga bisa beli obat di warung syukur masih dikasi rezeki bisa istirahat di rumah. Terus gitu ajalah kak, sampai kapan? gatau

Nah, karena statement dari kakak B inilah saya terinsipirasi membuat tulisan ini. hehe...
Ya, syukur kata sederhana hanya terdiri dari enam huruf alfabet dan tiga huruf jika menggunakan huruf hijaiyah. Kata-kata yang amat gampang diucapkan tetapi pengaplikasiannya sulit sekali menurut saya pribadi. Selama ini kebanyakan kita (termasuk saya) berpikir bahwa kita patut bersyukur hanya saat nikmat datang kepada kita dan kita lupa bersyukur jika yang datang kepada kita adalah cobaan atau saat hidup kita (menurut kita) lempeng-lempeng saja. Jujur, saya pun sering seperti itu, Astaghfirullah. dan memang begitulah sifat dasar manusia, Al-Qur'an pun menyatakan demikian.

 “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” [QS Yunus: 60]

Karunia yang Allah berikan terkadang ada dalam bentuk-bentuk yang tidak kita sadari, dalam hal-hal yang kita anggap biasa. Saya jadi ingat, sewaktu jaman sekolah dulu guru agama saya pernah berkata begini, "Nak, nikmat Allah buat kita itu besaaar sekali nak. bayangkan nak kalau misalnya oksigen di sekitar kita Allah angkat 1 menit saja, Bapak rasa ngga ada satupun dari kita yang bisa berjalan lurus". Masya Allah, sungguh saat itu saya jadi menyadari banyak hal dan saya masih mengingat ucapan beliau sampai sekarang, semoga Allah limpahkan keberkahan kepada beliau.

Begitulah kawan, saat musibah datang kepada kita, sering kali kita abai dengan nikmat-nikmat luar biasa yang Allah berikan kepada kita. Kita terlalu fokus dengan musibah yang ada, sibuk mengeluh, dan bersedih. Hingga kita lupa mensyukuri banyak hal. Lupa bahwa musibah pun adalah bentuk Cinta Allah kepada kita. sebagaimana sabda Rasulullah SAW

Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ’Azza wa jalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)

Kita bisa melihat banyak orang yang menurut kita sukses, karir bagus, kaya raya, istri cantik dan lain sebagainya, ternyata hatinya tidak bahagia, sedangkan orang-orang yang rumahnya biasa saja, pekerjaannya mungkin tidak ada apa-apanya jika dibanding kita tapi sungguh terpancar aura bahagia dari wajahnya. Apa kira-kira  yang membedakan dua golongan tersebut? Kemungkinan salah satunya adalah rasa syukur. Sungguh kawan, begitu hebat dampak rasa syukur itu. Dalam Al-Qur'an dikatakan :
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7).

Allah akan tambahkan nikmat kepada kita jika kita bersyukur, nikmat di sini tak harus dalam bentuk materi, jabatan, dan hal-hal berbau duniawi tetapi bisa  bisa dalam bentuk ketenangan hati, dikelilingi sahabat-sahabat yang shalih, dan berbagai nikmat ruhiyyah lainnya. Semoga kita semua Allah bimbing menjadi ahli syukur. Aamiin.

Jadi, sampai kapan kita harus bersyukur? sampai tak ada lagi yang bisa kita syukuri? kapan itu? Jawabannya tak akan pernah, kawan :). Syukur sekarang, syukur lagi, syukur terus.

Wallahu 'alam bisshawwab

Thursday, March 19, 2015

Tentang Pemilik Blog : Panggil aku Mia

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Ada sebuah ungkapan yang cukup populer di masyarakat yaitu, "Tak kenal maka tak sayang". Karena itu mari kita berkenalan agar tumbuh rasa kasih sayang di antara kita :). Dikatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". semoga setelah membaca tulisan tentang saya, para blogger yang tersesat di blog ini bisa menyayangi saya sebagai bentuk kecintaan kepada-Nya dan saya insya Allah juga menyayangi antum-antunna sekalian karena Allah pastinya :).
Okeee, mari kita mulai perkenalannya :D

Panggil aku Mia, 
Nama Lengkapku Mia Sari Hanty Ritonga. Perempuan berjilbab, berkacamata, dan beransel :3. Plegmatis-Melankolis. ISTP. Berdarah Batak asli tapi sering disalah pahami sebagai orang Jawa/Sunda, karena wajah dan suaranya yang katanya ngga ada batak-bataknya (emang orang Batak wajahnya sama semua ya?). Anak Pertama dari empat bersaudara. Penyuka kucing dan anak-anak. Sangat Introvert tapi malah masuk jurusan Pendidikan yang notabene nantinya bakal jadi Guru dan harus bisa ekstrovert, hmm ._. . Alhamdulillah, sudah wisuda :D dan sudah bekerja sebagai Pengajar Matematika di salah satu lembaga konsultan pendidikan di Medan. Akhwat tangguh nan mandiri (Kemana-mana sendiri). Senang Travelling dan berjiwa petualang. Katanya, pemikir logis matematis :D padahal perasa abis.

Jika, masih ada yang ingin ditanyakan bisa japri aja ke akun G+ atau ke facebook mia. Mohon maaf bila ada salah kata.

Wallahu 'alam bisshawwab

Wednesday, March 18, 2015

Catatan 1 : Sekapur Sirih

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu
Meski judulnya agak apalah gitu, tapi sesungguhnya tulisan ini hanya sebagai salam dan sebagai awal dari tulisan-tulisan mia yg insya Allah akan menyusul di blog ini.
Sedikit bercerita mengapa mia kembali menoleh ke dunia kata-kata dan prosa ini :). Bermula pada suatu hari dimana mia merasa sangat ingin menceritakan berbagai hal yang begitu sesak memenuhi hati dan pikiran. Ya, beberapa minggu ke belakang adalah masa-masa terberat bagi mia sekaligus masa-masa terasanya Cinta Allah kepada mia. Allah sadarkan mia bahwa begitu banyak hal yang mia sia-siakan lima tahun terakhir ini.
Nah, dalam kegalauan yang sangat itulah mia berniat menceritakan segala kisah yang mia alami kepada seseorang (setelah bercerita kepada Allah tentunya) :). Tetapi, ketakutan akan dijauhi memenuhi pikiran mia jika mia menceritakan apa yang mia alami kepada teman-teman. Sehingga hingga detik ini mia bungkam, tak berani bercerita padahal hati menjerit-jerit. Ya, naluri seorang perempuan jika ia mempunyai masalah maka dengan sekedar bercerita ia akan merasakan sedikit ketenangan, terlepas apakah setelah itu ada solusi yang ia terima atau tidak.
Singkat cerita, mia bertanya kepada seorang teman, kira-kira beginilah percakapan yang terjadi di antara kami petang itu : M (mia), T (Teman)
M : Teh, kalau teteh punya masalah, teteh suka cerita ke siapa?
T  : Biasanya ke mamah teh
M : Kalau ngga bisa diceritain ke mamah? misalnya karena takut malah jadi pikiran ke beliau
T ; Kalau saya mah, teh, nulis
M : *deg, oh iya ya, teh, bisa bisa *sambil angguk-angguk
Dan begitulah kisahnya bagaimana mia akhirnya kembali ke dunia yang telah sangaaaattt lama mia tinggalkan ini :). Dunia hitam-putih yang sejatinya amat berwarna-warni.
Maafkan geje hehe :D
Semoga tulisan-tulisan mia ke depannya bisa bermanfaat bagi siapapun yang mengunjungi blog ini.
Wallahu 'alam bishawwab